Uang Panai dalam Perspektif Islam: Syariat atau Adat?

Sinjai, sinjai.wahdah.or.id – Dalam episode terbaru program Carita Santai Agama Kita (CAS AKI) yang digelar di Cafe Karampuang, Ustaz Mustamin, S.Pd.I., S.Sos.I., hadir membahas secara mendalam topik hangat seputar pernikahan, khususnya persoalan uang panai dan waktu yang tepat untuk menikah menurut pandangan Islam. Topik ini mencuri perhatian karena kuatnya pengaruh budaya dalam proses pernikahan masyarakat Bugis-Makassar.

Dalam suasana bincang santai namun sarat makna, Ustaz Mustamin menegaskan bahwa pernikahan dalam Islam adalah ibadah yang sangat serius. Hukum menikah bisa berubah dari sunah menjadi wajib ketika seseorang telah memiliki kesiapan fisik, finansial, dan khawatir terjerumus dalam maksiat. Ia merujuk pada firman Allah dalam QS. An-Nur: 32 yang memerintahkan para wali untuk menikahkan anak-anak mereka yang sudah siap.

Namun, fokus utama diskusi kali ini tertuju pada praktik budaya uang panai yang sering disalahpahami sebagai bagian dari ajaran agama.

Uang panai itu bukan syariat, tapi adat. Yang menjadi bagian dari syariat adalah mahar, yaitu pemberian sah dari mempelai pria kepada wanita. Sedangkan uang panai lebih merupakan bentuk penghormatan keluarga yang sering disalahartikan sebagai syarat utama pernikahan,” jelas Ustaz Mustamin.

Ia juga mengkritisi fenomena penentuan nilai uang panai yang kerap dikaitkan dengan latar belakang pendidikan atau status sosial perempuan.

“Ada yang menentukan: kalau S1 sekian, S2 lebih tinggi, apalagi kalau PNS. Padahal Islam mengajarkan bahwa kriteria utama dalam memilih pasangan adalah agamanya,” tegas beliau.

Menariknya, Ustaz Mustamin turut mengangkat contoh kasus di mana justru perempuan membantu pihak laki-laki agar proses lamaran tetap berjalan. Ada yang berkata, “Berapapun diminta keluarga saya, iyakan saja, karena keputusan terakhir ada di saya.”

Lebih lanjut, beliau mengingatkan masyarakat agar tidak terjebak dalam solusi yang salah seperti silariang—kabur bersama pasangan karena lamaran ditolak—yang bisa menjurus pada perzinaan.

“Islam sudah memberikan jalan yang terhormat: ta’aruf, khitbah, dan akad. Jangan mulai rumah tangga dari jalan yang tidak diridhai Allah,” pesannya.

Diskusi ini ditutup dengan seruan agar masyarakat memudahkan jalan menuju pernikahan dan tidak menjadikan adat sebagai penghalang.

“Jika uang panai menjadi penghambat utama, maka sudah saatnya ada fatwa atau kebijakan yang menegaskan batasannya, agar niat baik tidak terhalang oleh adat yang memberatkan,” pungkas Ustaz Mustamin.