sinjai, sinjai.wahdah.or.id -- Gagasan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi, tentang pelaksanaan program vasektomi sebagai solusi pengendalian populasi menjadi wacana yang menarik perhatian publik. Di satu sisi, langkah ini menunjukkan keberanian dan kepedulian terhadap masalah kependudukan. Namun di sisi lain, terdapat banyak aspek fundamental yang perlu dipertimbangkan sebelum implementasi dilakukan secara luas. Sebagai seorang pendidik dan Kepala Sekolah, saya memandang isu ini dari perspektif yang lebih luas: tidak hanya medis, tetapi juga pendidikan, agama, dan nilai sosial budaya.
Vasektomi, sebagai metode kontrasepsi permanen bagi pria, memang kerap dilihat sebagai bentuk keadilan dalam peran reproduksi rumah tangga. Namun, dalam konteks keislaman, program ini bukan tanpa catatan serius. Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tegas menyatakan penolakannya terhadap sterilisasi permanen seperti vasektomi dan tubektomi, kecuali dalam kondisi darurat medis. Dalam ajaran Islam, perencanaan keluarga (tanzim al-usrah) dibolehkan selama tidak mengarah pada pemutusan keturunan secara permanen. Keturunan adalah hak Allah, dan manusia tidak dibenarkan untuk menutup sepenuhnya kemungkinan hadirnya kehidupan baru tanpa alasan syar’i yang jelas.
Dengan mempertimbangkan hal itu, pendekatan terhadap program vasektomi harus sangat hati-hati dan bijaksana. Pelibatan tokoh agama, ormas Islam, dan ulama dalam proses penyusunan dan sosialisasi program menjadi keharusan mutlak. Kebijakan publik yang tidak selaras dengan panduan agama dan etika sosial masyarakat kita, justru berisiko menimbulkan resistensi atau bahkan konflik sosial yang tidak diinginkan.
Dari sisi pendidikan, saya memahami bahwa pengendalian populasi jika dilakukan dengan pendekatan yang tepat tentu dapat berdampak positif pada kualitas keluarga dan anak-anak. Dalam banyak kasus, peserta didik dari keluarga dengan perencanaan yang baik menunjukkan keseimbangan psikologis dan semangat belajar yang lebih tinggi. Namun, sekolah bukanlah tempat untuk kampanye tindakan medis yang masih diperdebatkan secara etik dan agama. Peran sekolah lebih tepat diarahkan pada edukasi nilai-nilai perencanaan hidup, tanggung jawab, kesehatan keluarga, dan penguatan karakter.
Pendidikan dapat menjadi mitra strategis pemerintah dalam menyiapkan generasi muda yang memiliki wawasan masa depan dan kesadaran hidup sehat, tanpa harus menyentuh ranah yang menjadi wilayah keputusan pribadi dan keyakinan keagamaan orang tua. Sekolah bisa memperkuat pemahaman remaja akan pentingnya merancang masa depan keluarga melalui pendekatan yang sesuai usia, norma, dan nilai.
Oleh karena itu, saya mendorong agar gagasan tentang pengendalian penduduk dikemas ulang dalam bentuk program yang lebih inklusif, edukatif, dan tidak bertentangan dengan nilai agama. Jika tujuannya adalah membangun keluarga yang lebih sehat dan sejahtera, maka ada banyak jalan yang bisa ditempuh, seperti peningkatan edukasi keluarga, pemberdayaan ekonomi rumah tangga, dan penyediaan layanan kesehatan yang lebih adil dan merata.
Sebagai pendidik, saya percaya bahwa pembangunan manusia tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan medis atau statistik. Ia harus dibarengi dengan pemahaman moral, kesadaran spiritual, dan pendekatan budaya. Program vasektomi boleh jadi dimaksudkan sebagai solusi modern, namun pelaksanaannya harus berpijak pada nilai luhur yang selama ini menjadi tiang penyangga masyarakat kita.
Akhirnya, saya berharap setiap program pemerintah dapat mengedepankan asas maslahat, menghormati pandangan keagamaan, dan melibatkan berbagai unsur masyarakat secara utuh. Di sanalah letak keberhasilan pembangunan: bukan sekadar pada hasil kebijakan, tetapi juga pada penerimaan dan keberkahan dalam pelaksanaannya.
Oleh: A. Irfandi
Kepala SMAS IT Wahdah Islamiyah Sinjai